Jakarta, CNBC Indonesia – Proyek lumbung pangan atau food estate yang digadang-gadang pemerintah jadi jaminan ketahanan pangan RI kembali jadi sorotan. Proyek ini berulang kali jadi topik perdebatan, terutama sejak dimulainya ajang perlombaan politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Bahkan, Anies Baswedan blak-blakan menyebut program food estate justru hanya menguntungkan kroni, merusak lingkungan dan tidak menguntungkan. Hal itu disampaikannya saat Debat Capres 2024 yang digelar ketiga kalinya pada hari Minggu (7/1/2024) lalu.
Sebelumnya, Cak Imin juga menyebut food estate sebagai proyek yang terbukti gagal.
Sebagai informasi, Anies dan Cak Imin adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden RI yang ikut bersaing dalam Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024 nanti.
Lalu benarkah food estate gagal? Jika gagal, masih perlu kah proyek food estate dilanjutkan?
Pengamat Pertanian Khudori mengatakan, Indonesia tengah menghadapi keterbatasan lahan pertanian. Di sisi lain, luas lahan pertanian per kapita di Indonesia sangat kecil, hanya 0,096 hektare (ha) per kelapa rumah tangga petani. Jangankan dibandingkan China, Uni Eropa, Amerika Serikat (AS) atau pun Australia, luasan tersebut masih jauh kalah dibandingkan lahan petani di negara lain di ASEAN.
“Ini menjadi sebuah indikator sejauh mana sebuah negara mampu menjamin ketahanan pangan. Memang ada kebutuhan untuk memperluas lahan sawah yang cuma 7 juta ha. Setiap saat selalu terjadi konversi,” katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (9/1/2024).
“Dalam konteks ini, penting untuk menambah luas lahan pangan baru. Dalam kaitan ini, food estate itu penting,” lanjut Khudori.
Food estate, imbuh dia, juga penting untuk memindahkan basis produksi pangan yang berpusat sampai 55% di Jawa menjadi ke luar Jawa. Apalagi, ujarnya, pemerintah tak konsisten melindungi lahan pertanian dari serbuan alih fungsi yang lajunya semakin cepat.
Padahal, sudah ada Undang-undang (UU) No 41/2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hanya saja, aturan dalam UU itu kemudian dianulir oleh UU Cipta Kerja.
Hanya saja, Khudori tak gamblang menyebut food estate sebagai proyek gagal. Namun, Khudori menyoroti biang kerok semakin kusutnya pengolahan food estate.
Pertama, kata dia, kondisi lahan. Dia mengatakan, pengembangan food estate membutuhkan waktu karena kondisi lahan yang berbeda. Lahan food estate yang digarap di lahan di luar Jawa tak bisa disamakan dengan lahan di Jawa.
“Butuh waktu untuk bisa berproduksi optimal. Nggak bisa tahun ini dibuka, besok langsung menghasilkan produk yang baik. Butuh waktu, penyesuaian, dan anggaran yang besar untuk infrastruktur yang mendukung, SDM yang andal,” ujarnya.
“D…