Pemerintah Indonesia kembali melakukan aksi “serangan” balik terhadap Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun kali ini bukan terkait nikel. Setelah mengajukan gugatan banding atas kekalahan gugatan pertama terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada Desember 2022 lalu, kini RI telah resmi menggugat Uni Eropa di WTO terkait kebijakan Uni Eropa mengenakan tambahan bea masuk antidumping (BMAD) dan Countervailing Duties atau bea masuk penyeimbang (BMP) atas lempeng baja canai dingin nirkarat atau stainless steel cold-rolled flat (SSCRF) Indonesia.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Internasional Kementerian Perdagangan Bara Krishna Hasibuan menyebut, Indonesia telah resmi menggugat Uni Eropa di WTO atas pengenaan tambahan bea masuk antidumping tersebut pada akhir November 2023. “RI baru resmi menggugat Uni Eropa di WTO baru-baru ini, akhir November, terkait Countervailing Duty (CVD), additional import duty stainless steel cold-rolled flat, antara 13,5% sampai 21% on top existing yang udah kena 15%,” ungkap Bara, dikutip Kamis (07/12/2023).
Dia menjelaskan, pengenaan tambahan bea impor antidumping baja nirkarat ini karena baja Indonesia dianggap mendapatkan subsidi dari China. Menurutnya, ini tidak benar dan tidak adil bagi Indonesia. Apalagi, lanjutnya, ini dilakukan ketika ekspor stainless steel Indonesia ke Uni Eropa tengah meningkat. “Ini unfair practices,” tegasnya.
“Ekspor baja kita ke UE memang lagi naik, lalu tiba-tiba ada impose import duty itu,” ujarnya.
Dia menyebut, RI bisa merugi hingga 40 juta Euro atau sekitar Rp 668,8 miliar (asumsi kurs Rp 16.720 per Euro) bila peningkatan bea impor antidumping ini jadi diberlakukan Uni Eropa. Jumlah tersebut setara 20.000 ton stainless steel yang dikenakan tambahan biaya bea masuk antidumping tersebut.