Pemerintah sedang menyusun draf atau rancangan Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-Undang (UU) No 17/2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan). Rencananya, RPP itu akan memuat sejumlah pengendalian produksi, impor, peredaran, iklan rokok hingga larangan-larangan terkait penjualan dan sponsorhip produk tembakau dan rokok elektrik. RPP ini kemudian membuat petani, pedagang, buruh, hingga pengusaha kompak dan menolak aturan baru ini diterbitkan. Apalagi, aturan ini disebut tak memperhitungkan pendapat mereka. Pemerintah berdalih, RPP ini bukan untuk melarang hingga menutup pabrik rokok. Tapi untuk mengendalikan jumlah perokok di Indonesia.
Dalam Halaqah Nasional Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menyatakan bahwa RPP kesehatan membawa awan gelap yang bisa mematikan ekonomi petani tembakau. RPP ini seolah dipaksakan agar disetujui semua unsur. Petani juga selama hampir 2 tahun ini sudah mencoba ke pemerintah, kirim surat ke presiden, meminta RPP ini jangan dilanjutkan. Larangan dan pengetatan iklan rokok memang akan berdampak langsung ke perusahaan terkait. Tapi kalau industri hilirnya macet akibat regulasi ini, dampak negatifnya nanti hasil panen kami juga akan macet, tidak dibeli.
Sekitar 6 juta petani cengkih dan keluarganya akan terkena dampak buruk RPP Kesehatan. Mereka bergantung pada pabrik rokok kretek, kan kalau cengkih ini untuk rokok kretek, ini bisa terdampak. RPP kesehatan ini sangat tidak bersahabat terhadap ekosistem pertembakauan, jelas kami menolak dengan tegas.
Kalangan buruh juga ikut menolak rencana pemerintah lewat RPP Kesehatan. Kami sangat menolak (RPP Kesehatan). Karena pasti akan berdampak ke sektor-sektor, terutama petani tembakau. Intinya, terkait RPP ini, kami sangat konsen (concern) dengan RPP yang sedang digodok. Kalau ngomongin tembakau itu dari hulu hingga hilir, dari petani sampai dengan sales-nya, sampai dengan transportasinya, buruh pabriknya apalagi. Jadi dampaknya ini sangat domino apabila memang RPP ini akan diterapkan di kemudian hari.
RPP ini juga akan melarang penjualan rokok secara eceran. Hal ini kemudian mengundang reaksi keras dari pedagang. Menurut Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Reynaldi Sarijowan, larangan ini akan menggerus pendapatan pedagang. Rokok eceran itu dijual oleh anggota pedagang kaki lima di sekitar pasar atau pun di wilayah lain. Jika rokok eceran dibatasi, maka membatasi pula ruang jualan bagi pedagang anggota kami. Pendapatan warung kaki lima atau toko klontong di pinggir jalan itu 30% dari jualan rokok ketengan. Jadi kalau dilarang akan berisiko.
Pengetatan jam tayang iklan rokok, larangan iklan rokok di media luar ruang atau billboard, larangan di media sosial, hingga larangan sponsorhip akan memberatkan perusahaan jasa periklanan. Kehilangan sebesar itu bisa memengaruhi profit loss, impact-nya management mengurangi cost, dan cost paling besar media di karyawan ada potensi pengurangan karyawan.
Dalam konteks keberlangsungan media, itu penting kita perjuangkan, udah stop, ngga ada lagi lay off media, kita ingin media sustain, kita ingin jaga. Setuju diatur tapi harus adil dan tinggal pelaksanaannya seperti apa.
RPP ini rencananya akan memuat sejumlah aturan terkait: – penyelenggaraan produksi- impor- pengaturan peredaran produk tembakau dan rokok elektronik termasuk menjual eceran- penyelenggaraan kawasan tanpa rokok- pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik- pengendalian promosi dan larangan sponsorship produk tembakau dan rokok elektronik- layanan upaya berhenti merokok.