Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

by -107 Views

Pada bagian ini, saya ingin berbagi cerita tentang kedua paman saya, sebelum saya bercerita tentang teman seperjuangannya. Saat saya masih kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo, sering bercerita tentang kedua putranya, yaitu Subianto dan Sujono.

Setelah kemerdekaan, kedua paman saya bergabung dengan tentara. Salah satunya langsung menjadi perwira setelah lulus dari Fakultas Kedokteran. Kemungkinan karena lulus dari kedokteran, dia langsung diangkat menjadi perwira. Sedangkan paman yang lain masuk Akademi Militer Tangerang.

Di rumah kakek saya, Pak Margono, di Jalan Taman Matraman No. 10, yang sekarang bernama Jalan Taman Amir Hamzah, di Jakarta, terdapat ruangan khusus untuk kedua paman saya Subianto dan Sujono. Kamar mereka di Taman Matraman waktu itu masih dipertahankan. Ransel mereka, helm mereka, sepatu mereka semua masih ada di sana. Setiap kali saya datang hari Minggu, kakek saya selalu menyiapkan tenda milik Subianto untuk dipasang lagi. Sehingga saya bisa bermain di dalam tenda mereka. Saya dibawa ke kamarnya, dan ditunjukkan semuanya seperti ransel, sepatu, helm, dan tempat tidurnya.

Kedua paman saya gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama dengan rekan seperjuangan mereka, Daan Mogot, seorang Mayor yang pada usia 17 tahun mendirikan Akademi Militer Tangerang.

Elias Daniel Mogot, yang dikenal dengan nama Daan Mogot, adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sangat cemerlang. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun.

Daan Mogot lahir di Manado pada tahun 1928. Ia bergabung dengan pasukan PETA pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Ketika bergabung dengan PETA, ia sebenarnya belum memenuhi syarat usia 18 tahun yang ditetapkan oleh pemerintah militer Jepang.

Namun, berkat kecerdasannya dan prestasinya selama pendidikan militer, ia akhirnya dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943. Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris bersama dengan beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih calon anggota PETA di Bali.

Pada tahun 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor. Saat itu usianya baru 16 tahun.

Dengan pengalaman sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekannya menggagas pendirian akademi militer. Gagasannya mendapat tanggapan serius dari Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta, dan pada November 1945, Militaire Academie Tangerang (MAT) resmi didirikan.

Karena kegigihan dan keberhasilannya dalam memimpin pasukan, ia ditugaskan sebagai direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Tugasnya adalah mendidik calon-calon perwira Indonesia untuk ikut serta dalam perang merebut kemerdekaan.

Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan tujuan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Tanggal 25 Januari 1946, pasukan di bawah pimpinan Daan Mogot berangkat dengan kekuatan 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara gurkha. Misi operasi ini adalah untuk mencegah senjata tentara Jepang yang sudah menyerah agar tidak jatuh ke tangan tentara Belanda.

Sekitar pukul 16.00 WIB, pasukan tiba di markas Jepang. Keberadaan empat serdadu gurkha berhasil membuat pihak Jepang yakin bahwa rombongan tersebut adalah gabungan TKR dan Sekutu. Mayor Daan Mogot bersama beberapa tentara masuk ke kantor Kapten Abe untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Sementara di luar, para taruna di bawah pimpinan Letnan Subianto dan Letnan Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Jepang berhasil dikumpulkan. Namun tiba-tiba terdengar suara letusan senjata. Suara letusan ini memicu kepanikan tentara Jepang, sehingga mereka mulai menembaki para taruna MAT.

Para taruna MAT mencoba melawan dan melepaskan tembakan pula, namun pertempuran dinilai tidak seimbang. Pertempuran berakhir ketika hari mulai gelap. Prajurit yang masih hidup ditawan oleh pasukan tentara Jepang, sementara beberapa di antaranya berhasil melarikan diri. Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara beserta 33 prajurit tewas dalam pertempuran. Kedua paman saya, Subianto berusia 21 tahun, sedangkan Sujono berusia 16 tahun saat kejadian. Peristiwa ini sekarang dikenal dengan sebutan Pertempuran Lengkong.

Source link