BMKG Ingatkan Tanda-tanda Petaka Intai RI

by -110 Views

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati kembali mengingatkan ancaman perubahan iklim yang mengintai dunia, termasuk Indonesia. Salah satu dampak perubahan iklim adalah gangguan ketahanan pangan yang dipicu kekeringan ekstrem dan kekurangan air.

Kondisi kekurangan air atau water hotspot tersebut, kata dia, terjadi secara global. Dan akan berlangsung ke beberapa waktu ke depan.

Hal itu disampaikan Dwikorita saat rapat kerja dengan Komisi V DPR, Rabu (8/10/2023).

Dwikorita menuturkan, indikator tekanan ketahanan pangan berdasarkan water hotspot menunjukkan pada pertengahan abad nanti, sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi akan berwarna orange sampai orange pekat, bahkan hitam.

“Akibat kekurangan air ini, diproyeksikan oleh organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan,” kata Dwikorita dikutip Senin (13/11/2023).

“Diprediksi pada tahun 2050-an akan terjadi kekurangan pangan akibat kekurangan air tersebut, di wilayah-wilayah orange, cokelat, merah, dan sampai gelap. Indonesia masuk kategori wilayah menengah (orange),” lanjutnya.

Iklim global saat ini sudah semakin kompleks, tidak pasti, dan semakin rumit yang berdampak pada kondisi iklim regional dan lokal di Indonesia.

Dia memaparkan, hasil pengamatan iklim atas suhu rata-rata sejak tahun 1850-2023 menunjukkan, suhu pada tahun 1850-1900 masih realtif stabil. Namun, begitu adanya industri, secara bertahap, sekitar sejak tahun 1950, terjadi kenaikan temperatur secara global. Bahkan lonjakan terjadi menjelang tahun 1980. Di mana grafik kenaikan suhu terlihat pada periode tahun 1920-1950 masih landai, lalu semakin curam setelah tahun 1980.

“Dari sekitar 370 ppm konsentrasi Co2, tahun ini sudah berkisar 415 ppm. Padahal, bukit Kototabang itu di tengah hutan, tidak di Jakarta, tidak ada polusi. Sehingga bisa di bayangkan, di tengah hutan pun konsentrasi CO2 di kota pun sudah melompat. Hal ini mengakibatkan selubung gas rumah kaca di atmosfer,” terangnya.

“Selubung gas rumah kaca itu menghambat terlepasnya radiasi matahari kembali ke angkasa. Selama puluhan tahun radiasi itu tidak kembali ke angkasa karena CO2 gas rumah kaca,” jelas Dwikorita. Sedangkan efek dari perubahan iklim, di antaranya adalah punahnya es puncak Jayawijaya tahun 2025 dan cuaca ekstrem semakin sering terjadi.

“Untuk itu BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas penerapan transformasi energi dari energi fosil ke nonfosil,” sebut Dwikorita.