Jokowi Di Hantam 2 Kabar Buruk dalam 2 Minggu Terakhir Sebelum Masa Jabatannya Berakhir

by -51 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Tidak ada Oktober ceria untuk perekonomian Indonesia tahun ini. Indonesia malah mendapatkan dua kabar buruk sekaligus di awal Oktober 2024. Dua kabar buruk itu adalah amblesnya Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data IHK pada September 2024 melandai dan di bawah ekspektasi konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.
Secara tahunan (year on year/yoy), IHK masih naik atau mengalami inflasi sebesar 1,84% pada Agustus 2024 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat 2,12%. Secara bulanan (month to month/mtm), IHK turun tercatat mengalami deflasi sebesar 0,12%.

“Indonesia deflasi 0,12% pada September 2024,” Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Selasa (1/10/2024)
Deflasi bulan September 2024 lebih tinggi dari Agustus 2024 dan merupakan deflasi kelima 2024.
Sementara konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 institusi memperkirakan IHK September 2024 stagnan 0,035% dibandingkan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi 0,03%. Sedangkan IHK secara tahunan diperkirakan akan melandai menjadi 1,98% (yoy) pada September 2024.
Deflasi 4 Bulan Berturut-turut, Anomali Besar Bagi RI
Deflasi lima bulan berturut-turut secara bulanan ini pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir. Artinya, selama era reformasi baru kali ini Indonesia mengalami deflasi lima bulan beruntun.
Turunnya harga-harga selama 5 bulan ke belakang ini patut dicermati. Pasalnya, deflasi berturut-turut semakin menegaskan sinyal pelemahan daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil.
Sebagai pembanding, pada 1999 deflasi pernah terjadi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus…
Untuk data September 2024, penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau.
Secara historis, IHK Indonesia lebih kerap mencatat inflasi dibandingkan deflasi. Catatan deflasi biasanya hanya terjadi sebulan kemudian diikuti dengan inflasi pada bulan berikutnya.
Deflasi juga cuma terjadi pada periode-periode tertentu seperti pasca Lebaran Idul Fitri. Dengan berdasar catatan historis itu pula maka deflasi dua bulan, tiga bulan, apalagi empat bulan beruntun adalah hal yang sangat langka. Kondisi anomali deflasi tiga bulan beruntun hanya terjadi tiga kali selama 38 tahun terakhir yakni pada 1999, 2020, dan tahun ini.
Deflasi empat bulan berturut-turut dalam sejarah panjang Indonesia hanya terjadi dua kali dalam kurun waktu 45 tahun (1979-2024) yakni pada 1999 dan tahun ini. Anomali besar ini jelas memunculkan tanda tanya.
Jokowi Ingatkan Bahaya Inflasi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan akan bahaya inflasi karena laju inflasi pada 2022 hingga 2023. Namun justru kondisi yang ada saat ini muncul deflasi dan hingga saat ini, Jokowi belum memberikan pernyataan soal deflasi empat bulan berturut-turut ini.
Menanggapi hal ini, Ekonom Bank Danamon Hosianna Situmorang menyampaikan, selama lima tahun terakhir, deflasi sebagian besar disebabkan oleh penurunan harga makanan yang volatil.
Terlihat deflasi yang terjadi sejak Mei-Agustus 2024 menunjukkan tingkat harga barang bergejolak terpantau juga mengalami deflasi.
Begitu pula ketika terjadi deflasi pada Agustus 2023, barang bergejolak pun mengalami kontraksi.
Periode Februari, Agustus, dan Oktober 2022 juga terpantau hal yang sama yakni deflasi headline dan barang bergejolak.
Juni dan September 2021 juga tercatat mengalami deflasi pada sisi headline maupun barang bergejolak.
PMI Manufaktur Kontraksi Lagi
PMI Manufaktur Indonesia menunjukkan kontraksi untuk tiga bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9) dan September. Posisi PMI Manufaktur Agustus lalu merupakan yang terendah sejak Agustus 2021. Sementara untuk bulan September 2024 aktivitas manufaktur RI masih mengalami kontraksi (49,2).
Ambruknya PMI Manufaktur ini tentu memicu kekhawatiran karena manufaktur adalah penyumbang kinerja ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Ambruknya manufaktur juga bisa mencoreng kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang turun jabatan Oktober mendatang.
Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan catatan deflasi di Agustus terjadi seiring dengan penurunan harga volatile food karena peningkatan produksi bawang merah.
Lebih lanjut, deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan beruntun yang diikuti dengan turunnya PMI Manufaktur Agustus yang anjlok ke level 48,9 poin menjadi indikasi adanya penurunan daya beli masyarakat.
“Tren deflasi ini dipengaruhi oleh supply pangan yang sudah mulai membaik atau normalized pasca factor el nino di awal tahun ini.
Namun kita juga perlu mencermati bahwa ada kecenderungan daya beli masyarakat ada kemungkinan trennya sudah mulai menurun. Hal ini diperkuat dengan data yang dirilis pagi ini adalah PMI manufacturing Indonesia kembali lagi masuk ke dalam fase kontraktif.” tutur Josua dalam program Profit, CNBC Indonesia.
S&P Global menjelaskan manufaktur Indonesia terkontraksi lebih lanjut karena menurunnya output dan pesanan baru dengan tingkat yang lebih tajam.
Perusahaan manufaktur Indonesia juga terus mengurangi jumlah tenaga kerja meski hanya marginal.
“Penurunan dalam manufaktur Indonesia semakin intensif pada Agustus, yang ditandai dengan penurunan tajam dalam pesanan baru dan output untuk pertama kalinya dalam tiga tahun,” tutur Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, dikutip dari website resmi S&P Global.
“Tidak mengherankan, perusahaan merespons dengan mengurangi jumlah tenaga kerja, meskipun banyak yang menekankan bahwa ini bersifat sementara,” imbuhnya.
Kondisi lemahnya industri manufaktur Indonesia ini diperkirakan terus akan terjadi hingga akhir kuartal III-2024.
Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, dengan produsen kemungkinan menghadapi kendala yang berkelanjutan, menjadikan dukungan kebijakan potensial penting untuk menstabilkan sektor ini.
“Kami memperkirakan permintaan industri akan melemah sepanjang tahun depan karena kondisi pasar yang buruk, termasuk daya beli yang rendah dan permintaan global yang tertekan,” papar Fithra.
“Dengan prospek pertumbuhan yang terbatas baik domestik maupun internasional, kami memperkirakan PMI Indonesia akan berada di sekitar 49-50 hingga akhir kuartal ketiga, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi kami sebesar 4,9% untuk tahun ini,” tutup Fithra.
(fs/fsd)