LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -117 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggugah semangat rakyat, namun Gubernur Suryo juga merupakan seorang orator yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang bersejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Dia bukan personel militer. Namun dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus mempertahankan harga diri bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang besar bagi generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam mempertahankan tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa bersejarah terpenting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran hebat antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari para pemuda dan pelajar madrasah Surabaya, dan Angkatan Darat Inggris. Ini adalah peristiwa heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang sulit diraih.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, merenggut nyawa lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas ini dirayakan setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dari kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada tanggal 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang diperintah oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigade-nya menjadi unit tingkat pleton yang menduduki banyak pos di Surabaya. Saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang relawan. Ada juga kelompok bersenjata. Oleh karena itu, pleton-pleton ini tidak dapat saling membela karena terlalu terpencar di kota sebesar Surabaya. Brigade itu lenyap sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, ini menghina Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan pasukan Indonesia disarangkan senjata.

Inggris marah atas kematian jendral mereka, menuntut agar pelaku ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Angkatan Darat Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah shalat Jumat pada 9 November 1949, Angkatan Darat Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan selebaran dari udara untuk semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan agar semua warga Indonesia yang tidak berwenang membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua wanita dan anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18. Jika perintah tidak dipatuhi, Angkatan Darat Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Namun, kelompok pemuda pejuang yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap perang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa yang besar yang mampu menahan serangan militer besar oleh pasukan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut kepada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk mempertahankan kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Gubernur Suryo.

Saat menjelang batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris berakhir, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan penting kepada rakyat Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak berkobar-kobar. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang ini cukup kuat untuk memobilisasi semua yang mendengarkannya untuk bersiap-siap membela Surabaya.

Walaupun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena pidato menggugahnya yang dapat membangkitkan massa, nada tenang namun tegas dari Gubernur Suryo tidak kalah kuatnya. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘teriakan perang’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Hanya bisa kita bayangkan emosi mentahnya saat dia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Lebih sulit lagi untuk memahaminya, mengingat Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya memahami perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam mempertahankan kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Itulah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DIJAJAH LAGI!

Saudara-saudari,

Pimpinan kami di Jakarta telah berusaha sekuat tenaga untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Namun sayangnya, semuanya sia-sia. Saat ini terserah kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan langkah selanjutnya. Semua upaya kami untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, kita harus mempertahankan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi semua kemungkinan.

Berulang kali, kami telah menyatakan posisi kami: Kami lebih memilih hancur daripada direkolonialisasi. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kami akan tetap mempertahankan sikap itu. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Di hadapan setiap kemungkinan besok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kepolisian, pemuda, dan organisasi perlawanan akar rumput. Mari kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dan Berkat serta Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link