BMKG Melaporkan Tanda-tanda Bencana yang Mengancam Indonesia

by -122 Views

Seorang petani mengamati padi yang mengalami kekeringan di Desa Kramat Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu 9 Agustus 2023.

Jakarta, CNBC Indonesia – Perubahan iklim menjadi topik yang juga menghiasi pemberitaan media dan perbincangan di berbagai platform media sosial tahun ini. Apalagi, tahun ini cuaca ekstrem dan fenomena iklim melanda negara-negara di berbagai belahan bumi. Mulai dari hujan disertai banjir bandang, kekeringan dan suhu panas ekstrem, angin puting beliung, polusi udara yang semakin memburuk, hingga semakin cepatnya siklus iklim dan cuaca.

Berulang kali lembaga-lembaga di dunia yang memiliki wewenang, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan agar semua pihak bekerja sama mengatasi dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan skenario terburuk yang tengah mengancam dunia, termasuk Indonesia. Yaitu, krisis pangan, yang kemudian bisa memicu terjadinya krisis ekonomi dan politik.

Skenario terburuk itu, ujarnya, adalah efek domino perubahan iklim.

“Perubahan iklim yang terjadi di dunia, imbuhnya, memiliki dampak serius bagi perekonomian seluruh negara, termasuk Indonesia. Jika terus dibiarkan, sebagaimana diprediksi oleh organisasi pangan dan pertanian dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), ancaman bencana kelaparan yang mengintai dunia bisa terjadi pada tahun 2050,” katanya dalam keterangan di situs resmi pada bulan November 2023 lalu.

Seramnya, lanjut Dwikorita, bencana itu tak akan peduli negara maju atau negara berkembang. Karena itu, Dwikorita mengimbau seluruh negara termasuk Indonesia mengubah gaya hidup yang mengandalkan energi fosil menjadi energi ramah lingkungan.

“Jika budaya ini tidak diubah, maka prediksi pertengahan abad ini dunia akan mengalami masalah ketahanan pangan akan benar-benar terjadi. Untuk ASEAN–juga Indonesia, dapat dikategorikan sebagai wilayah rentan terhadap ketahanan pangan dan masuk ke dalam level di luar moderat,” tukasnya.

“Indikasi terburuknya, jika terjadi krisis pangan maka dapat dipastikan akan terjadi krisis ekonomi dan politik di dalam negeri. Inilah fakta yang harus dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia,” ujar Dwikorita.

BMKG sebenarnya telah berulang kali mengingatkan ancaman akibat perubahan iklim yang mengintai bumi. Dwikorita memaparkan salah satu dampak perubahan iklim adalah gangguan ketahanan pangan yang dipicu kekeringan ekstrem dan kekurangan air atau water hotspot yang terjadi secara global. Dan diprediksi dapat berlangsung ke beberapa waktu ke depan.

Dia menjelaskan, indikator tekanan ketahanan pangan berdasarkan water hotspot menunjukkan pada pertengahan abad nanti, sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi akan berwarna orange sampai orange pekat, bahkan hitam.

“Akibat kekurangan air ini, diproyeksikan oleh organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan,” kata Dwikorita saat rapat kerja dengan Komisi V DPR, Rabu (8/10/2023).

“Diprediksi pada tahun 2050-an akan terjadi kekurangan pangan akibat kekurangan air tersebut, di wilayah-wilayah orange, cokelat, merah, dan sampai gelap. Indonesia masuk kategori wilayah menengah (orange),” katanya.

Dia pun mengutip data badan meteorologi dunia, World Meteorological Organization (WMO) yang mencatat tahun 2023 menjadi tahun penuh rekor temperatur.

“Kondisi ini tidak pernah terjadi sebelumnya, di mana heatwave (gelombang panas) terjadi banyak tempat secara bersamaan. Bulan Juni hingga Agustus merupakan tiga bulan terpanas sepanjang sejarah dan bulan Juli 2023 menjadi bulan paling panas. Ini menjadikan tahun 2023 berpeluang menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim, mengalahkan tahun 2016 dan tahun 2022,” paparnya.

“Situasi ini dampak perubahan iklim yang juga memberi tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka dan menghasilkan apa yang dikenal dengan water hotspot. Dan meningkatkan kerentanan stok pangan dunia,” jelasnya.

Dwikorita memperingatkan, semua pihak bekerja sama dan bergotong royong melakukan aksi mitigasi. Mulai dari hemat listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon, juga restorasi mangrove.

“Implementasi strategi mitigasi dan adaptasi harus digencarkan di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Apalagi, suhu udara permukaan di Indonesia diproyeksikan akan terus naik di masa yang akan datang,” ungkap Dwikorita.

Di sisi lain, dia menambahkan, pemerintah sedang menyusun Instruksi Presiden (Inpres) kebijakan Indonesia agar rencana pembangunan jangka panjang Indonesia emas berkorelasi dengan kebijakan ketahanan iklim dan bencana.

Selain itu, imbuh dia, BMKG mendorong para ahli ekonomi dan insinyur yang mendesain infrastruktur mengacu pada pemodelan numerik untuk memvalidasinya dengan perkembangan iklim dan dampaknya. Yang berdasarkan pada hasil observasi, data satelit, dan pengamatan di lapangan.

“Karena bahkan bagi kami, para ahli iklim, tren ini tidak dapat diprediksi. Sangat tajam, tidak dapat diprediksi. Jadi tolong pertimbangkan hal itu,” tegasnya.

Dwikorita mengatakan, fenomena iklim global saat ini sudah semakin kompleks, semakin tidak pasti, dan semakin rumit yang berdampak pada kondisi iklim regional dan lokal di Indonesia.

Dia memaparkan, hasil pengamatan iklim atas suhu rata-rata sejak tahun 1850-2023 menunjukkan, suhu pada tahun 1850-1900 masih realtif stabil.

“Namun, begitu adanya industri, secara bertahap, sekitar sejak tahun 1950, terjadi kenaikan temperatur secara global. Bahkan lonjakan terjadi menjelang tahun 1980. Di mana grafik kenaikan suhu terlihat pada periode tahun 1920-1950 masih landai, lalu semakin curam setelah tahun 1980,” katanya.

“Dan tercatat kenaikan suhu sampai tahun 2023 sudah mencapai kurang lebih 1,2 derajat Celcius dibandingkan sebelum revolusi industri, atau periode 1850-1900. Dan, sejak 8 tahun terakhir, sejak tahun 2016 sampai 2023 tercatat rekor terpanas sepanjang sejarah,” ujar Dwikorita.

Salah satunya, kata Dwikorita, suhu pada bulan Juli 2023 tercatat sebagai suhu terpanas dibandingkan suhu bukan Juli tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pada tahun 2023, tercatat suhu terpanas berulang kali pecah rekor.
Misalnya, pada bulan April 2023 suhu terpanas mencapai lebih 45,4 derajat Celcius di Tak, Thailand. Lalu pada bulan Juli 2023 suhu maksimum terpanas mencapai 53 derajat Celcius di Amerika bagian barat dan suhu lebih 43 derajat Celcius bertahan selam 31 hari berturut-turut.

Kemudian di bulan Agustus 2023 saat musim dingin di Boolivia, suhu justru mencapai 45 derajat Celcius.

“Jadi kenaikan suhu ini memang global, meski Alhamdulillah Indonesia meski ada kenaikan belum sebesar yang lain karena luas laut Indonesia jauh lebih luas dari daratnya yang berperan sebagai pendingin,” pungkasnya.

[Gambas:Video CNBC]

(dce/dce)