Data kemiskinan Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengundang perhatian publik karena perbedaan yang signifikan antara kedua lembaga tersebut. Bank Dunia menggunakan Purchasing Power Parities (PPP) 2021 sebagai dasar peningkatan garis kemiskinan global, yang sebelumnya mengacu pada PPP tahun 2017. Revisi ini berdampak pada peningkatan jumlah kemiskinan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
PPP adalah ukuran standar yang digunakan untuk membandingkan harga barang dan jasa di berbagai negara dengan penyesuaian nilai tukarnya. Bank Dunia merevisi tiga lini garis kemiskinan berdasarkan 2021 PPP, dengan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas di Indonesia meningkat dari US$ 6,85 2017 PPP menjadi US$ 8,30 2021 PPP. Revisi ini juga menunjukkan peningkatan jumlah orang miskin di kawasan Asia Timur, Amerika Latin, Eropa, Asia Tengah, dan Sub-Sahara Afrika.
Di sisi lain, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) berdasarkan Garis Kemiskinan. Metode penghitungan BPS mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia dengan memperhitungkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Data garis kemiskinan BPS berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan 2 kali setahun.
Perbedaan data kemiskinan menyoroti pentingnya pemahaman akan metode penghitungan dan interpretasi angka kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan tingkat pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun tidak mencerminkan kondisi individu secara spesifik. Oleh karena itu, penting untuk melihat garis kemiskinan secara rinci berdasarkan wilayah dan konteks yang relevan untuk memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan akurat.