Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi pada bulan April 2025, menurut data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang diterbitkan oleh S&P Global. Ini merupakan kontraksi pertama sejak lima bulan terakhir dan dianggap sebagai kinerja terburuk sejak Agustus 2021, saat pandemi Covid-19 gelombang Delta melanda Indonesia. Kementerian Perindustrian mengakui bahwa industri manufaktur di Indonesia sedang menghadapi tekanan berat dari ketidakpastian di pasar global dan domestik, termasuk dampak perang tarif dan banjir produk impor.
Menurut Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri, PMI manufaktur Indonesia turun secara signifikan hingga 5,7 poin dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pelaku industri masih menunggu kepastian dari hasil negosiasi perwakilan Pemerintah Indonesia dengan pihak Amerika Serikat untuk mendapatkan keyakinan dan kepercayaan dalam menjalankan bisnisnya.
Ketergantungan sektor manufaktur Indonesia terhadap pasar ekspor sebesar 20% menunjukkan pentingnya perlindungan pasar domestik. Kontraksi PMI manufaktur Indonesia lebih dalam dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN lainnya. Selain itu, sektor manufaktur global juga mengalami perlambatan pertumbuhan, termasuk China yang masih berada dalam fase ekspansi namun mengalami perlambatan dibandingkan bulan sebelumnya.
Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menilai bahwa industri manufaktur Indonesia mencatatkan kondisi yang kurang baik masuk triwulan kedua tahun 2025. Penurunan penjualan dan output merupakan faktor utama di balik kontraksi sektor manufaktur Indonesia. Keseluruhan, kondisi pasar manufaktur global saat ini menunjukkan ketidakpastian dan perlambatan pertumbuhan yang berdampak pada industri manufaktur di Indonesia.