Pasukan militer junta Myanmar menembaki rombongan konvoi kendaraan dari Pemerintah China yang membawa bantuan darurat pasca gempa. Hal ini terjadi saat Myanmar baru saja mengalami bencana gempa, yang juga terjadi saat negara itu berada dalam perang saudara. Menurut laporan dari Radio Free Asia (RFA), Juru Bicara junta, Zaw Min Tun, menjelaskan bahwa konvoi yang terdiri dari 9 kendaraan milik Palang Merah China sedang dalam perjalanan membawa perbekalan di dekat kota Nawnghkio di negara bagian Shan ketika tentara menembaki mereka. Penembakan tersebut dilakukan karena terjadi kesalahpahaman terkait ancaman keamanan.
Pernyataan dari juru bicara junta militer muncul setelah pasukan anti-junta Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA) melaporkan insiden tersebut. Mereka mengatakan bahwa utusan tersebut akan dikawal ke Mandalay oleh tentara mereka sejak saat itu. Konvoi tersebut adalah bagian dari upaya penyelamatan dan bantuan internasional sebagai respons terhadap gempa berkekuatan 7,7 skala Richter yang melanda Myanmar, menewaskan lebih dari 2.800 orang dan melukai 4.600 orang. Angka tersebut diperkirakan masih akan terus bertambah.
Di tengah perang saudara di Myanmar, Junta militer pimpinan Min Aung Hlaing telah menggulingkan pemerintahan sipil pada Februari 2021. Situasi ini memicu demonstrasi besar-besaran dari publik yang menolak kudeta tersebut. Reaksi tersebut kemudian memicu perlawanan dari beberapa milisi etnis di Myanmar yang menentang rezim junta yang dianggap tidak demokratis.
Dalam situasi di mana Myanmar sedang dilanda gempa dan perang saudara, TNLA bersama tiga kelompok sekutu lainnya, termasuk Tentara Arakan, mengumumkan gencatan senjata sepihak. Gencatan senjata ini bertujuan untuk memfasilitasi upaya kemanusiaan internasional dan akan berlangsung selama satu bulan. Meskipun demikian, junta menolak usulan ini dengan tuduhan bahwa organisasi etnis bersenjata memanfaatkan jeda tersebut untuk berkumpul kembali dan melakukan pelatihan militer.
Di satu sisi, pemerintah Myanmar terus membuka pintu untuk bertemu dan berdiskusi dengan semua organisasi etnis bersenjata guna mencapai perdamaian yang efektif. Namun, Min Aung Hlaing menegaskan bahwa militer hanya akan menanggapi jika diserang, sementara menolak kehadiran tentara asing dalam konflik domestik di negaranya.