LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [PRESIDENT SUKARNO]

by -174 Views

Dalam sejarah Indonesia, ada beberapa ksatria yang telah menunjukkan keberanian dan ketahanan mereka. Para ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk pada kekuasaan asing yang congkak dan sombong. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah intelektual besar, orator dan pengorganisir. Ada banyak yang dapat kita pelajari dari Presiden Indonesia pertama, Presiden Sukarno. Pelajaran yang saya pelajari darinya bisa menjadi sebuah buku sendiri. Bung Karno lahir di Surabaya tahun 1901. Pada tahun 1927, pada usia muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisannya yang berpengaruh dalam membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari penjara, Sukarno menciptakan pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato bersejarah yang saya anggap masih sangat relevan hingga saat ini. Pada tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama masa itu, beliau aktif bekerja untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta meletakkan dasar bagi pemerintahan Indonesia yang baru. Dalam buku ini, saya ingin menarik perhatian Anda pada beberapa peristiwa sejarah yang sangat berdampak pada perjalanan negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Seperti yang dapat dibayangkan, pada saat itu, negara kita bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Tapi Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: Saudara-saudara, rakyatku! Saya telah mengumpulkan Anda di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kami rakyat Indonesia telah bertarung untuk kemerdekaan tanah air kami. Bahkan ratusan tahun! Banyak gerakan kami untuk merebut kemerdekaan telah mengalami kemajuan dan kemunduran, tapi semangat kami tetap ada untuk mencapai tujuan kami. Juga, selama penjajahan Jepang, upaya kami untuk mencapai kemerdekaan tidak pernah berhenti. Mungkin terlihat kami bergantung pada Jepang, tapi pada hakikatnya, kami bergantung pada tekad kami, pada kekuatan kami. Sekarang saatnya untuk benar-benar mengendalikan takdir bangsa kami, tanah air kami. Hanya bangsa yang berani mengendalikan nasibnya sendiri yang akan mampu kokoh dan bangga berdiri. Maka [hari ini], kami telah berunding dengan pemimpin-pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kami telah mencapai kesepakatan bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk menyatakan kemerdekaan kami. Saudara-saudara! Maka dengan tegas kami nyatakan: Seseorang dapat membayangkan keadaan Bung Karno saat itu. Beliau dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini menimbulkan pemberontakan terhadap Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata nuklir. Kami tidak memiliki apa-apa waktu itu. Senjata yang kami miliki adalah sisa-sisa persenjataan Belanda dan Jepang yang kami berhasil rebut. Peristiwa kedua yang sangat penting bagi pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang dibuat oleh Presiden Sukarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Pada saat itu, Presiden Sukarno di bawah tekanan besar untuk menciptakan dasar ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa mendorong untuk dasar ideologi berdasarkan agama atau kelompok etnis tertentu. Tapi beliau dengan tenang memutuskan, di depan sidang itu, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Sukarno mengatakan: Kami ingin menciptakan negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk para aristokrat, bukan untuk orang kaya – tapi untuk semua! Republic Indonesia bukanlah milik kelompok tunggal, juga bukan milik agama atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tapi milik semua dari Sabang sampai Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Professor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik lama Bung Karno. Pak Soemitro bahkan ikut dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Karena saya adalah anak dari Professor Soemitro, beberapa orang mungkin mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Tapi, menariknya, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa dia menentang Bung Karno karena pandangan politik yang berlawanan, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pernah mengatakan, ‘Tapi, anak-anakku, kalian semua harus ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin besar. Bung Karno adalah salah satu pemimpin paling luar biasa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang beragam, faksi politik, dan adat yang berbeda untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah mengatakan kepada kami bahwa jika bukan karena Bung Karno, mungkin kita tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tapi malah berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan itu memang yang diinginkan Belanda: melihat Indonesia terpecah menjadi puluhan negara yang berbeda. Itu juga harapan negara-negara lain di sekitar kita. Itulah yang dikatakan ayah saya kepada saya. Kemudian, Pak Mitro menceritakan bagaimana dia, pada awal 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak berkerjasama dengan PKI. Hingga suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan memperingatinya. Bung Karno mengatakan pada Pak Mitro, ‘Hey Mitro, ketika kamu masih memakai celana pendek, aku sudah masuk dan keluar dari penjara. Ingat itu. Kamu hanya urus ekonomi dan biarkan politik padaku. Aku lebih memahami politik Indonesia daripada kamu.’ Pak Mitro mengatakan bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Tapi menurut Pak Mitro, ‘Saya tidak punya niat buruk. Saya hanya ingin Bung Karno tidak terjebak. Saya yakin bahwa suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai Wakil Perdana Menteri 1 (First Deputy Prime Minister) pada suatu waktu adalah dia, bukan Dokter Subandrio. Tapi ketika dia ditawari posisi itu, dia sekali lagi mendorong Bung Karno untuk tidak berkerjasama dengan PKI. Bung Karno kesal dengan keteguhan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro bercerita kepada saya kisah tersebut, saya berkata padanya, ‘Pak, saya rasa Anda membuat kesalahan. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sisinya, Anda mungkin bisa mencegah manuver PKI.’ Pak Mitro memikirkan apa yang saya katakan cukup lama sebelum akhirnya mengakui, ‘Saya rasa kamu benar, Bowo. Seharusnya saya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adik saya, Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika dia sakit terbaring di tempat tidur, Pak Hashim bertanya pada Pak Mitro, ‘Pak, apakah Anda memiliki penyesalan dalam hidup Anda? Apa yang paling Anda sesali dalam hidup Anda?’ Jawaban Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling saya sesali: saya meninggalkan Bung Karno. Seharusnya saya tetap berada di sisinya.’ Itulah pelajaran-pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di kalangan Generasi ’45—mereka memiliki pandangan yang berlawanan, tapi mereka menghormati satu sama lain. Selain itu, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak terlalu kaku dalam sikap kita, karena, pada suatu titik, sikap kita mungkin menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang membuat saya terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro membawa saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di puncak tangga. Beliau tinggi, berpostur baik, karismatik, dengan senyuman lebar di wajahnya. Suaranya dalam, bergemuruh. Saya ingat bahwa beliau mengangkat saya seperti akan membanting saya ke udara. Lalu beliau menurunkan saya kembali ke tanah. Saya tidak ingat dengan pasti…

Source link