LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

by -103 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer Dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang mereka lakukan hanya memberi hadiah atau memberi suap kepada para raja yang berkuasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang kesetiaannya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji-janji keuntungan ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang teguh dalam pendiriannya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil merebut Batavia dari tangan Belanda, keteguhan dan semangat yang ditunjukkannya untuk mengusir Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) sudah cukup untuk memberinya tempat dalam sejarah.

Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung tidak pernah menerima tawaran yang diberikan oleh VOC meskipun menarik bagi dirinya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, dan Jepang pernah secara bergantian menjajah Indonesia. Perancis menjajah Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon pada masa Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa pra-kemerdekaan itu, penjajah mengambil kekayaan kita dengan kekuatan. Mereka menindas rakyat kita.

Seringkali, pasukan kolonial tidak memerlukan tindakan perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang mereka lakukan hanya memberi hadiah atau memberi suap kepada para raja yang berkuasa. Jika seseorang berkunjung ke museum Belanda hari ini, seperti Museum Rijks di Amsterdam. Di museum tersebut, seseorang dapat melihat sendiri hadiah-hadiah mewah Belanda kepada para pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja Nusantara, untuk memerintah kepulauan tersebut.

Hadiah-hadiah seperti itu harganya tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita. Penjajah memanfaatkan ketidakberanian beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lampau. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat rendah.

Ada beberapa sultan dan raja yang kesetiaannya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji-janji keuntungan ekonomi dan perhiasan. Banyak dari pemimpin idealis ini akhirnya dihadapi oleh rekan-rekannya yang dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena pemprovokasian, berita palsu, dan upaya untuk membagi dan memerintah (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang teguh dalam pendiriannya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil membebaskan Batavia dari kekuasaan Belanda, keteguhan dan semangatnya untuk mengusir VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari Jawa lain cukup untuk memberinya tempat yang agung dalam sejarah. Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran-tawaran mereka sangat menggiurkan.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia adalah Sultan Mataram keempat yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645.

Beliau adalah seorang sultan dan panglima yang ulung yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kekaisarannya menjadi kekuatan territorial dan militer yang luar biasa. Sultan Agung dihormati di Jawa atas perjuangannya untuk mempertahankan pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekkah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk mengajak Sultan Agung untuk bekerjasama, namun beliau menolak tawaran tersebut secara langsung.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak berkerjasama dengan VOC.

Sultan Agung mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini terputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh pulau Jawa pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Saat itu, Banten telah mengalami asimilasi budaya. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil mengubah Mataram menjadi kerajaan yang besar melalui kekuatan militer, budaya bangsanya yang mulia, dan pembangunan ekonomi, terutama dengan pengenalan sistem pertanian.

Source link