LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART I)

by -71 Views

Lieutenant General TNI (Purn.) Kemal Idris

Ada pepatah yang mengatakan bahwa seorang guru sejati seharusnya bangga melihat muridnya melampaui dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa murid-muridnya dan orang-orang di bawah komandonya lebih sukses daripada dirinya. Seorang guru sejati tidak akan ragu untuk membimbing murid-muridnya agar bisa mencapai potensi penuh dan mencapai pangkat tertinggi demi kepentingan bangsa dan negara.

Saya berusia 17 tahun ketika saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah menjadi sosok TNI yang sangat terkenal. Pada masa itu, ia dikenal sebagai salah satu tokoh kunci rezim Orde Baru pada awal pemerintahan Presiden Soeharto. Pak Kemal Idris juga merupakan sahabat dari paman saya, Subianto, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Saat bertemu dengannya, Pak Kemal Idris berkata padaku: ‘Aku adalah sahabat terbaik dari pamanmu. Pamanmu adalah orang yang sangat berani. Jika pamanmu masih hidup hari ini, aku yakin dia akan menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Kamu seharusnya mengikuti jejak pamanmu, Subianto. Dia adalah seorang pahlawan.’

Saya ingat kata-katanya. Setelah saya mempelajari lebih lanjut tentang sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya mengerti bahwa beliau adalah orang yang sangat patriotik, berani, lurus, dan terbuka. Batalyon Kemal Idris adalah batalyon TNI pertama yang masuk ke ibukota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.

Pada 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat dalam pengepungan Istana. Pak Kemal Idris adalah orang yang berani, sangat pro-rakyat, dan nasionalis teguh. Beliau sangat membenci korupsi sehingga bahkan dengan berani mengkritik atasannya, sehingga seringkali atasan menganggapnya sebagai “anak nakal.” Saya bahkan pernah mendengar Pak Harto menyebut nama Pak Kemal Idris sambil tersenyum sambil tertawa, ‘Ya, Kemal, ya… Kemal yang keras kepala.’

Namun, para atasannya selalu memaafkan dan selalu melindunginya karena beliau adalah seorang yang sangat berani dan mampu memimpin pasukannya melawan Belanda. Kemal Idris bertempur melawan pemberontak selama tahun 1950-an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, beliau menjadi orang kepercayaan Pak Harto di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat sebagai Wakil Kepala Staf. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Panglima Kostrad.

Sifat-sifat Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikap terbuka dan ramahnya, serta humoris. Beliau selalu jujur dan selalu berpihak kepada rakyat yang lemah. Namun, Pak Kemal Idris juga memiliki kelemahan. Beliau adalah orang yang emosional dan seringkali membuat keputusan serta kesimpulan tergesa-gesa sebelum benar-benar memahami situasi. Kadang-kadang, sifat ini membuatnya terjerumus ke kesulitan nyata. Sepanjang hidupnya, beliau sering memberi saya nasihat. Setiap kali bertemu dengannya, beliau selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Saya mendapatkan banyak wawasan kepemimpinan darinya.

Beberapa jam sebelum kematiannya, ajudannya mengatakan kepadaku bahwa beliau sangat sakit, dan saya mengunjunginya di Rumah Sakit Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di atas ranjang kematiannya, beliau berbisik padaku, ‘Prabowo, teruslah berjuang.’ Kata-kata terakhirnya untuk saya, ‘Jaga Republik ini, terima kasih.’ Saya memberi hormat kepadanya, dan tiba-tiba air mata mulai mengalir di wajahku. Itu adalah momen yang sangat emosional. Saat itu, saya sudah dipecat sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwanya saat beliau mengalami momen terakhir hidupnya.

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Hartono Rekso Dharsono

Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat terdekat Pak Harto. Beliau berani memperbaiki Pak Harto, mengkritik, dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Beliau menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para atasannya dan rekannya. Beliau sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Beliau sering memakai topi Kujang. Beliau muncul sebagai tokoh pahlawan yang diidolakan. Beliau diidolakan oleh para pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda di Jakarta.

Letnan Jenderal TNI (Purn.) H.R. Dharsono dikenal oleh orang-orang terdekatnya dengan nama panggilan Pak Ton. Pak Ton dan Pak Kemal Idris sangat dekat dengan keluarga saya, terutama dengan orangtua saya. Pak Ton juga merupakan sahabat dari paman saya, Pak Subianto, dan ayah saya, Pak Soemitro. Beliau pernah bertugas sebagai Atase Pertahanan di London. Beliau juga memiliki karier gemilang di TNI. Beliau merupakan sosok yang menonjol di Kodam Siliwangi, yang saat itu dikenal dengan Divisi Siliwangi.

Dalam operasi untuk menekan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII, Hartono Dharsono menjadi komandan batalyon yang mencolok. Ketika pemberontakan G30S/PKI terjadi, beliau menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Siliwangi. Akhirnya, beliau menggantikan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, kemudian menjadi Komandan Kodam Siliwangi dari tahun 1966 hingga 1969. Pada masa itu, beliau berhasil memperkuat persatuan antara TNI dan rakyat. Beliau sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Beliau sering memakai topi Kujang. Ia diidolakan sebagai tokoh pahlawan, terutama oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda ibukota Jakarta.

Selama era Orde Baru, beliau adalah salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Beliau berani memperbaiki Pak Harto, mengkritik Pak Harto, dan mendorong Pak Harto untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Beliau menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para atasannya dan rekannya. Akibatnya, beliau dituduh mendukung tindakan teror dan singkatnya dipenjara. Saat itu, saya masih seorang perwira muda. Saya prihatin karena saya tahu bahwa beliau difitnah mungkin oleh kelompok-kelompok di dalam Angkatan Darat yang tidak menyukainya.

Ketika beliau dipenjara, saya masih seorang Letnan Dua. Saat saya mengikuti kursus dasar spesifik cabang di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu dengan keluarganya. Kemudian, saat saya menjadi Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Saat itu, saya bertanggung jawab atas pembangunan markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor dan subkontraktor. Saya belajar bahwa beberapa individu muda dari Bandung mendirikan perusahaan furnitur dan mendaftarkan diri sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan tersebut. Kemudian saya ditegur oleh salah seorang perwira atasan saya, yang mengatakan, ‘Di antara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…’

Source link